Dahulu, menyebut kata Kantor Agama sama halnya dengan menghampiri sesuatu yang sangat sakral. Di samping institusinya memang mengurusi agama dan segala turunannya, juga karena di dalamnya dihuni oleh orang-orang yang terjaga kehormatannya.
Sebut saja figur sekelas Kepala Kantor Urusan Agama (KUA). Di masa silam, posisi kepala KUA itu dipandang sebagai pemutus perkara hukum, khususnya yang terkait dengan fiqih perkawinan (munakahat). Kehadirannya di tengah-tengah umat selalu dirindukan. Sebab sangat diyakini sebagai sosok yang hadir untuk kemaslahatan.
Setiap langkah dan tutur katanya adalah cermin kesalehan. Setiap pesan yang terlontar adalah setara ‘sabda’ yang mesti dipatuhi. Mengabaikan pesan pak KUA, sama dengan menggali kuburan sendiri.
Sosok yang lain adalah, Pak Penilik. Saya kurang familiar dengan istilah itu. Tapi tugas utamanya adalah melakukan monitoring secara rutin ke sejumlah madrasah. Kehadirannya penuh wibawa, juga memberi kesejukan. Nasehatnya jitu, pesannya berisi. Saat meninggal dunia, kepergiannya ditangisi.
Inilah sekelumit potret aktor Kementrian Agama yang dirindukan. Sebuah institusi yang hadir bukan sebatas menjalankan tugas di atas landasan benar dan salah. Namun juga pada pijakan etik. Patut atau tidak.
Mengapa? Dari dulu hingga kini, dan boleh jadi selamanya, Kementrian Agama akan terus-menerus menyandang predikat mulia sebagai penjaga agama, perawat moral bangsa yang bhinneka.
Kehadirannya tidak dipandang sebagai intitusi biasa. Sebagaimana dengan keberadaan institusi lainnya. Itu sebabnya, ketika terjadi penyimpangan atau tindakan keliru, sorotan tajam pasti menyerang kementrian Agama dengan bertubi-tubi. Mengapa? Sekali lagi, selamanya kementrian agama dipahami sebagai benteng pertahanan moral bangsa.
Kita merindukan kemajuan profesionalisme beriringan dengan kesiapan merawat jati diri. Sebab betapa tak eloknya menyaksikan sebuah pertunjukan yang hanya berlandaskan pada pijakan pikiran-pikiran sederhana. Maupun pada kebijakan yang diputuskan atas pertimbangan yang nihil wawasan kebangsaan.
Saya ingin menceritakan sebuah peristiwa yang bagi sebagian pihak mungkin wajar. Namun dalam pandangan saya itu tidak patut. Suatu ketika dalam hajatan Hari Amal Bakti (HAB) Kementrian Agama, sejumlah cabang lomba dipertandingkan. Keseruan para peserta yang ikut bergabung dalam aneka lomba benar-benar menunjukkan keseruan HAB kala itu.
Ada satu hal yang tiba-tiba menghentak pikiran saya. Saat mendengar rencana perhelatan HAB akan diramaikan dengan lomba menggendong isteri. Sejenak tertegun, kaget bahkan panik. Kok bisa sampai harus memasukkan lomba menggendong isteri sebagai cabang lomba? Rupanya rumusnya sederhana. Bahwa ASN Kemenag juga manusia. Sama dengan yang lain. Saat itulah saya menimpali. Bahwa menjadi ASN kemenag tidak cukup sebatas menjadi manusia prosedural. Tapi juga penting menjadi pelaku Subtansial tanpa melepas diri dari lokus kontekstual.
Apa maksudnya? Bahwa menjadi ASN Kemenag, terpatri dua sisi dambaan publik. Atau jika hendak lebih tajam kita sebut sebagai dambaan umat. Pertama, kita merindukan institusi ini semakin menunjukkan profesionalismenya. Kedua, kitapun tetap mengharapkan agar institusi ini terus merawat stamina sebagai penjaga moral bangsa yang berpijak pada keteladanan orang-orang yang ada di dalamnya.
Kita merindukan tatanan yang saling mendukung, saling mempersilahkan. Bukan iklim yang saling menjatuhkan, saling menjegal, saling mengkhianati, dan saling menghalalkan segala cara.
Apa ukuran keteladanan? Bukan pada indeks maupun pemetaan intern yang patut menilainya. Cobalah sesekali mendengar perspektif dari mereka yang selama ini dipandang tak punya arti apa-apa. Tanyalah pada tukang ojek, tukang becak, warga di pasar, komunitas warung kopi, para Imam Kampung, para pekerja Penggali Kuburan. Boleh jadi kita akan menemukan jawabannya. Apakah masih pantas menyandang Ikhlas Beramal, atau telah menjelma menjadi pepesan kosong, pesan tanpa makna apa-apa lagi.
Kata Allahu Yarham Ketua MUI Sulbar 2015-2020, KH. Nur Husain, jika Kementrian Agama saja tidak bisa menjadi teladan, maka kepada siapa, bangsa ini akan menautkan harapannya?
Mari merefleksi atas segala capaian dengan tetap berdiri pada pijakan amal dan bakti. Amal yang dibaktikan fan Bakti yang diamalkan. Semoga tetap Ikhlas Beramal.
Mamuju, 3 Januari 2023
Nur Salim Ismail,-
Komentar