2enam.com, Mamuju : Terkait rekapitulasi tingkat Kecamatan yg belum selesai dilakukan oleh KPU di tiga kecamatan yaitu kecamatan Mamuju, Simboro, dan Kalukku, yang dimana pada rekap Kecamatan Mamuju sempat ada keberatan dari pihak Paslon nomor urut 2, Habsi Wahid bersama Irwan Pababari.
“Kami dari Tim Hukum Paslon nomor urut 1, Siti Sutinah Suhardi bersama Ado Mas’ud, beranggapan bahwa itu bagian dari upaya untuk menciptakan situasi yang tidak kondusif ditempat rekap tingkat kecamatan,” kata Tim Hukum Mamuju Keren, Dedi, Minggu 13 Desember 2020.
Dedi mengungkapkan bahwa pihaknya menganggap keberatan yang dilakukan pihak Paslon Petahana itu merupakan suatu hal yang lumrah dan merupakan bagian dari upaya mencari alasan hukum untuk pembelaan demi kepentingan calonnya.
“Pemungutan suara di TPS sudah berjalan dengan lancar dan damai yang dimana pada saat perhitungan suara di TPS saksi dari Paslon Petahana tidak ada yang keberatan bahkan semua saksi bertanda tangan di C1-KWK di TPS dan itu menurut kami sesuatu yang diterima para saksi,” katanya.
Terkait keberatan saksi Paslon Petahana yang meminta daftar hadir pemilih yang mengunakan e-KTP dan surat keterangan di TPS untuk dibuka daftar hadirnya, menurut Dedi tidak berdasar apalagi alasannya pemilih KTP Itu merupakan pemilih ganda dan lebih parahnya lagi apabila menduga memilih Paslon nomor urut 01 merupakan sesuatu yang sangat keliru dikarenakan pilihan setiap orang itu tidak perlu di publikasikan karena itu merupakan rahasia setiap individu sesuai hati nuraninya sesuai dengan prinsip yang dianut dalam UU PEMILU yaitu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber-Jurdil).
“Sehingga kami tegaskan bahwa kami juga tidak menginginkan terdapat pemilih ganda karena merupakan sesuatu yang melanggar hukum dan mempunyai ancaman hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 178B UU nomor 10 Tahun 2016,” kata Dedi.
Terkait upaya dari pihak manapun untuk menciptakan situasi tdk kondusif pada rekapitulasi tingkat kecamatan, Ketua Tim Hukum Mamuju Keren, Abdul Wahab mengigatkan untuk berhati-hati karena jelas dalam UU pemilu ada ancaman pidana yg cukup berat yg di atur dalam pasal 198 A UU nomor 10 tahun 2016.
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak kekerasan atau mengahalang-halangi penyelenggara pemilihan dalam melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 dan paling banyak Rp 24.000.000,00,” kata Abdul Wahab.
Diketahui bahwa Pasal 178B UU nomor 10 Tahun 2016 berbunyi setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 108 bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 dan paling banyak Rp108.000.000,00.
M4R10
Komentar