2enam.com, Ambon : (18/12) Gempa bumi berkekuatan 6,8 SR dengan kedalaman 10 km yang terjadi di wilayah Ambon, Provinsi Maluku pada 26 September 2019 lalu meskipun tidak berpotensi tsunami dan saat ini kondisi di Ambon telah berangsur – angsur pulih, tetapi masih terdapat beberapa bangunan yang terkategorikan rusak berat serta banyak anak-anak di pengungsian yang membutuhkan dukungan psikososial. Anak-anak, termasuk remaja dan perempuan merupakan salah satu kelompok rentan apabila terjadinya bencana.
“Ketika bencana terjadi, perempuan dan anak menghadapi berbagai bentuk kerentanan akibat konstruksi gender maupun kapasitas dan sensitivitas yang berbeda dibanding laki-laki dewasa. Sebagai contoh, di pengungsian perempuan dan anak cenderung lebih rentan terhadap bentuk-bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual serta belum optimal dalam memperoleh perlindungan dan pemberdayaan. Selain itu, keterbatasan pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pangan, mengakibatkan mereka mengalami kekurangan gizi; pelayanan kesehatan, sanitasi, dan air bersih di tempat pengungsian yang terbatas mengakibatkan mereka mudah terserang berbagai macam penyakit,” ujar Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ciput Eka Purwianti pada kegiatan Dukungan Psikososial bagi Anak Korban Bencana Gempa di Ambon.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sejumlah bangunan rusak, antara lain sambungan Jembatan Merah Putih, Gedung Rektorat Universitas Pattimura, dan Pasar Apung di Negeri Pelau Kabupaten Maluku Tengah. Selain itu, gempa susulan juga terjadi beberapa kali yang membuat warga harus siaga dan menjauhi beberapa bangunan yang berpotensi runtuh. BNPB juga menyebutkan terdapat beberapa gempa susulan yang terjadi hingga pada bulan November.
Dukungan psikososial bagi anak korban bencana gempa di Ambon yang diselenggarakan oleh Kemen PPPA dapat menjadi sarana untuk mengembalikan kondisi anak agar setelah peristiwa bencana terjadi dapat secara bersama menjadi kuat, berfungsi optimal, dan memiliki ketangguhan menghadapi masalah sehingga menjadi produktif dan berdaya guna. Anak-anak juga diajak untuk mengenali berbagai bentuk bencana yang dapat dicegah melalui berbagai upaya mitigasi. Dalam kegiatan tersebut juga dilakukan pemberian bantuan spesifik kebutuhan anak berupa perlengkapan sekolah dan alat olahraga.
Hasil analisis para pakar lingkungan, 70 persen bencana alam yang terjadi adalah akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, anak-anak juga didorong menjadi pelopor untuk melakukan hal-hal sederhana. Mulai dari rumah sendiri untuk mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim, misalnya memilah dan mendaur ulang sampah, mengurangi pemakaian plastik sekali pakai, menghemat penggunaan listrik dan air, serta menjaga alam sekitar agar tidak rusak dan beralih fungsi. Kegiatan ini diikuti oleh enam puluh orang anak SMP dan SMA, serta lima belas orang perwakilan Forum Anak.
“Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan bisa menjadi wadah anak untuk bisa mengelola pengalaman traumatis dalam bencana sebagai titik balik dan dasar untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana, serta memberikan psiko-edukasi kepada anak agar mereka mampu mengelola emosi dan mampu menghadapi masalah sehingga dapat menjadi produktif dan berdaya guna,” tutup Ciput.
(***)
Komentar