2enam.com, Mamuju : Pembangunan megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tumbuan, di Desa Karama, Kecamatan Kalumpang, Mamuju, menuai polemik.
Mencuat kabar ganti rugi lahan warga tak sesuai kesepakatan. Hanya dihargai Rp 3.500 per meter. Padahal perjanjian awal antara perusahaan, Pemprov Sulbar dan Pemkab Mamuju, biaya ganti rugi mencapai Rp 8 ribu per meter.
Polemik terendus usai beberapa warga menyambangi rumah Ketua DPD Demokrat Sulbar, Suhardi Duka. Mereka mengadu pembayaran ganti rugi lahan yang dinilai tak manusiawi.
Menurut Suhardi Duka, ratusan hektar lahan kena imbas pembangunan PLTA. Mulai pembukaan dan pelebaran jalan. Termasuk titik pembangunan PLTA. Sebagian warga telah menerima ganti rugi dengan nominal tersebut. Sisanya menolak dan mengadukan kondisi itu kepadanya.
“Warga mendatangi saya malam-malam. Mengadukan nasib mereka. Ini juga yang membuat saya bingung. Pengganti rugi ini kan perusahaan swasta, bukan pemerintah. Kok nominalnya sangat kecil,” ketus, Suhardi Duka, melalui sambungan telepon, Jumat 1 Maret, siang.
Memperjelas polemik, lelaki yang akrab disapa SDK itu menyambangi perwakilan PT Bukaka, di Mamuju. SDK mengaku nekad melakukan klarifikasi, lantaran masih terbebani tugas moral. Kesepakatan pengerjaan PLTA terlaksana saat ia masih menjabat bupati Mamuju.
“Saya merasa masih bertanggungjawab untuk urusan ganti rugi lahan milik warga di sana. Jadi saya langsung klarifikasi,” sebutnya.
Menurut Pelaksana Teknis PT Bukaka di Mamuju, Safri, sebagian besar ganti rugi lahan telah dibayarkan. Biaya ganti rugi sekira Rp 3.500 rupiah. Termasuk kawasan kantor PLTA. Sisanya sekira sepuluh hektar lagi. Pelunasan disaksikan warga dan pemerintah desa.
Menyoal besaran ganti rugi, Safri mengaku tak punya kewenangan mengintervensi kebijakan perusahaan.
“Saya disini hanya pelaksana teknis saja. Hanya melakukan apa yang menjadi keputusan pihak perusahaan. Selebihnya saya tidak tahu,” kata Safri, dilansir dari Wacana.Info.
Kepada 2enam.com, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulbar, Amri Eka Sakti mengaku tak pernah terlibat dalam pembahasan ganti rugi lahan.
“Kami tak punya hak disitu. Itu kewenangan perusahaan dan warga setempat. Tapi kalau ada perjanjian lebih awal Rp 8 ribu, kemudian hanya dibayar Rp 3.500, yah jangan sampai calo yang main,” pungkas Amri.
Mengulas pembangunan megaproyek tersebut, PLTA telah terlaksana 2013, silam. Diawali pembangunan infrastruktur jalan sepanjang 34 kilometer, lebar enam meter dan bahu jalan satu meter. Menguras anggaran Rp 228 miliar. Selanjunya pembangunan PLTA Tumbuan berkekuatan 450 megawatt (MW). Setiap 1 MW membutuhkan anggaran Rp 20 miliar. (Saharuddin Nasrun/red)
Komentar