Oleh: Argariawan Tamsil Al-Mandary
2enam.com, Opini, Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya pernah bercerita tentang seorang anak mudah dari Qazwin. Suatu hari ia mendatangi tukang rajam untuk digambarkan tato singa yang menakutkan.
“Gambarlah singa sempurna yang garang dibelakangku. Gambarlah sebagus mungkin agar orang banyak bisa tergertak melihatnya”. Mulailah si tukang tato menusukkan jarum-jarumnya. Rasa sakit mulai terasa disekujur tubuh. Ia kesakitan. “Kamu seperti ingin membunuhku. Bagian singa yang mana yang kamu lukis?” “Seperti yang anda minta, singa yang garang. Saya sedang melukis bagian ekornya.” “Hentikan, ekor singa yang kamu lukis hampir membuat nafasku terhenti. Gambarlah singa tanpa ekor”. Ia kemudian melanjutkan, tak lama kemudian ia kesakitan lagi. “Anggota badan mana yang hendak kamu gambar?” “Bagian telinga anak muda”. Ia kesakitan lagi, “Biarkan singa tanpa telinga.” Perajah meneruskan kembali. Dan ia melolong kesakitan. “Bagian mana yang sedang kamu buat?” ia bertanya lagi. “Saya sedang melukis bagian perut. “Hentikan. Buat saja singa tanpa perut”. Perajah mulai bosan dan menghentikan pekerjaannya. Ia melemparkan jarum-jarumnya. “Tidak pernah ada orang seperti ini. Mana ada singa sempurna tanpa ekor, tanpa telinga dan tanpa perut?”
Cerita Rumi di atas adalah representasi kehidupan kita sehari-hari. Di kampus, di sekolah, di pemerintahan, dimanapun kita berada. Seorang mahasiswa idealis yang getol menyuarakan keadilan tetapi disisi lain ditawari kemewahan, ia pun harus mengakhiri perjuangannya. Seorang pejabat yang bersuara lantang dan keras di parlemen atas nama rakyat di pundak, terpaksa runtuh karena tawaran yang sama; duniawi.
Rumi seperti memberi nasehat kepada kita bahwa untuk menjadi seorang idealis yang sempurna maka harus siap merasakan tantangan berupa derita. Ia menyimbolkan rasa sakit dengan derita. Seperti anak muda kita, ia tak bisa mendapatkan singa yang garang karena rasa sakit yang tak tertahankan. Bagaimana mungkin menjadi idealis yang sejati ketika rapuh karena usuran perut?
Di kantor, terkadang kita menjerit atas Perlakuan atasan kita yang bertentangan dengan naluri kita. Ketika menduduki posisi strategis, kita tak dapat menggunakan wewenang kita untuk bekerja semaksimal yang dibayangkan. Semua itu karena hak kita dipreteli satu persatu. Seperti tukang rajam kita, bagaimana mungkin bisa menciptakan seekor singa yang sempurna jika harus tanpa ekor dan tanpa perut?
Inilah potret kehidupan. Terkadang perjalanan terhenti karena sebuah godaan. Kadang juga hati menjerit karena harus melaksanakan sesuatu yang sesungguhnya tertolak oleh akal sehat kita.
Dalam tasawuf, para sufi menyebut penyakit yang menjadi hijab ini adalah nafs. Nafs akan menjadi penghalang besar berupa godaan duniawi. Ketika seseorang mampu melalui, ia akan diberi keistimewaan di atas awan (dalam bahasa Arab, awan disebut hawa. Dan hawa memiliki arti lain yaitu hawa nafsu).
Para sufi melakukan “pengosongan” untuk meninggalkan keduniawian (bukan dunia). Rumi dalam sepenggal syairnya, “Ada kebahagiaan rahasia bersama perut yang kosong”. Keduniawian mungkin bisa disederhanakan sebagai kenikmatan yang terlampaui, kedudukan yang terlampaui, kemegahan yang terlampaui dan kemewahan yang terlampaui. Inilah ujian terbesar sekaligus terberat manusia sejak kehidupan ini tercipta.
Bagaimana Qabil membunuh Habil karena godaan duniawi. Saudara-saudara Yusuf harus membuangnya ke sumur karena kecemburuan akan kedudukan. Qarun harus binasa karena harta yang berlebihan. Fir’aum di masa Musa harus tenggelam karena kebanggaan berlebihan atas kedudukan. Ibnu Muljam harus membunuh Ali bin Abi Thalib di mihrabnya karena tawaran akan kedudukan.
Bahagialah manusia-manusia yang mampu melakukan perjalanan dengan menahan godaan. Yang tak tergoda lagi oleh tawaran kedudukan tinggi dengan mematikan nurani. Yang tetap bersuara lantang dengan memilih hati nurani ketimbang urusan duniawi.
Salam bagimu wahai Ibrahim yang mendapat gelar kesempurnaan setelah melalui ujian terberat, yakni siap mengorbankan Ismail, anak yang sangat engkau cintai demi menjalankan perintah Tuhan.
Komentar