2enam.com, “Saat manusia mulai mengenal kasih sayang, di waktu yang sama mereka juga menanggung resiko kebencian”.
Pilbup seharusnya ditafsir sebagai proses pergantian cinta, meskipun menyakitkan tetapi seperti itulah politik mengelola perasaannya. Semua pihak terlebih dahulu harus menjernihkan fikiran, kemudian menata kembali menjadi pilar kokoh yang dapat membantu tanah yang kita sebut Tipalayo ini mampu melihat calon tambatan hatinya dalam seluruh relasi.
Masyarakat Tipalayo sudah miskin, jangan lagi ditambahi dengan menggores luka. Miskin dan tak bersemangat, pasti melahirkan dua hal, mudah dijebak zaman dan berujung Baper. Pilbup adalah media PDKT, seluruh sistem Sipamandaq kita, harus berdiri diatas panji-panji politik yang berdaulat dan bertanggung-jawab atas penghidupan masyarakat.
Selain itu, konstalasi politik daerah harus berdiri kokoh diatas pondasi hukum, baik secara positif maupun adat. Kita pasti sependapat bahwa kenangan lalu telah memberi pelajaran tentang pentingnya satu gagasan politik lokal (Sibaliparriq) yang menjadi inisiator dalam mengumpulkan kembali hati yang telah berserakan itu. Sayang, mekanisme lokal itu tak sekharismatik politik ‘Check in’ yang telah kita kagumi sejak beberapa dekade terakhir.
Masyarakat akhirnya dilema sendiri dalam menghadapi pergolakan hati yang telah jauh membantahkan logika. Siapa pun pasti akan merasa lelah dengan proses makan hati secara politik di Tipalayo. Saat kita mulai lelah dengan tutur yang santun dan selalu memberi dengan apa adanya, masyarakat malah rindu pemimpin yang posesif dan bersuara lantang. Gerak move on kita pun makin suram, entah mengapa kenangan masa lalu itu terungkap kembali.
Hal itu karena hati kita cenderung tidak tahan melakoni satu cita-cita perubahan ke arah hidup yang lebih baik. Terlalu mudah putus asa. Lalu menyerah dalam jebakan romansa masa lalu. Politik ideal tidak dibangun dalam jangkauan tatapan mata saja, tapi harus menjadi permainan ingatan dan imajinasi perasaan.
Tanah Tipalayo yang kita cintai itu sangat terbebani atas trauma masa lalu yang berjejal memenuhi ruang batin masyarakat dan berakibat pada dua hal, ketakutan membuka hati dalam kontestasi Pilbup atau bergerak dalam berbagai sektor dengan alur politik atas nama dendam karena berulangkali tersakiti.
Fenomena pertama hadir karena ketakutan jatuh dalam perangkap depresi daerah. Sedangkan soal dendam itu hanya ingin merebut kembali tafsir kebenaran pengetahuan dan kebudayaan yang telah terenggut.
Pada kondisi kekinian, Tipalayo belum mampu melihat sosok pujaan yang sedari awal muncul menokohkan dirinya, meskipun penampilannya hanya mencoba menyerap sisa-sisa aura yang diwariskan oleh masa lalu. Masyarakat harus bersabar menunggu pemimpin yang hadir untuk mewujudkan cita-cita masa lalu yang belum sempat dikecap oleh tanah itu.
Karena telah menjadi korban perasaan, Tipalayo belum berani untuk menentukan prinsipnya. Beberapa calon penyunting yang diharapkan mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik justru sibuk berkamuflase dengan intimidasi politik elusan dada yang semakin keras, kita harus mampu membendung intervensi itu jika ingin mewujudkan sebuah kemalaqbian. Calon penyunting hendaknya tidak larut dalam hegemoni nafsu yang sudah sangat nyata berniat merusak kita.
Olehnya itu, marilah kita saling memahami bahwa perasaan ini hadir sebagai pelindung, yang membawa kita ke arah kehidupan yang lebih baik lagi.
Manakarra, Permulaan April 2017
Zulkifli Pacinnai
Komentar