2enam, Palembang , Majelis hakim persidangan Pengadilan Negeri (PN) Kelas I A Palembang, Junaidah SH MH, Kamis (18/2) menegaskan, 60 kepala sekolah SD, SMP, SMA, dan SMK di Kota Palembang yang terbukti memberikan sejumlah uang sebesar 10 persen dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Anggaran Rehab Sekolah Tahun 2012-2013 dapat ditetapkan menjadi tersangka.
Hal itu ditegaskan hakim dalam persidangan terdakwa Hasanuddin (mantan Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan dan Subsidi Disdikpora Palembang dan terdakwa Rahmat Purnama (mantan Kepala Seksi Bangunan Gedung dan Perabotan Disdikpora Palembang), yang terjerat kasus dugaan korupsi DAK Anggaran Rehab Sekolah Tahun 2012-2013 Disdikpora Palembang yang mengakibatkan kerugian negara mecapai Rp 3,4 miliar.
Dimana dalam persidangan kemarin, dari 30 kepala sekolah yang dijadikan saksi dalam kasus dugaan ini, 26 kepala sekolah dihadirkan JPU menjadi saksi kedua terdakwa.
Ke-26 kepala sekolah tersebut terdiri dari 13 saksi untuk terdakwa Hasanuddin, mereka yakni; ‘MU’, ‘MA’, ‘NU’, ‘MG’, ‘ES’, ‘RZ’, ‘JE, ‘PS’, ‘AR’, ‘MD’, ‘RO’, ‘MY’, dan ‘MS’.
Sedangkan 13 saksi lainnya menjadi saksi untuk terdakwa Rahmat Purnama, mereka yakni; ‘SS’, ‘HTR’, ‘MN’, ‘SP’, ‘QR’, ‘AS’, ‘Hj MZ’, ‘NA’, ‘IL’, ‘NI’, ‘RW’, ‘PU’, serta ‘MI’.
Dikatakan Mejelis Hakim Junaidah SH MH, dalam Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pihak pemberi suap dan penerima uang suap bisa dikenakan pidana. Apalagi dalam kasus dugaan ini, uang DAK yang diterima, 10 persennya diduga diserahkan kepala sekolah kepada terdakwa tanpa adanya paksaan. Karena itu kepala sekolah yang terbukti memberikan uang itu sama saja dengan menyuap dan bisa dijadikan tersangka dalam kasus dugaan ini.
“Bapak dan ibu (26 saksi Kepala sekolah) sebagaian dari 60 kepala sekolah yang menjadi saksi dalam kasus dugaan DAK ini. Nanti semuanya (60 kepala sekolah) juga akan kami sidangakan disini. Karena saat memberikan 10 persen uang dari anggaran DAK, dilakukan tanpa dipaksa dengan pisau atau diancam akan dimutasi serta diberhentikan dari jabatan kepala sekolah. Jadi kalian (saksi), dengan sadar memberikan uang itu, ini namanya suap dan bisa kena pidana,” tegasnya.
Masih dikatakannya, apalagi dalam kasus dugaan ini ada dugaan yang membuat laporan fiktif untuk menutupi anggaran 10 persen yang diserahkan tersebut. “Ini jelas pidana dan 60 kepala sekolah yang menjadi saksi dalam perkara ini bisa menjadi tersangka dan disidangkan, seperti terdakwa Hasanuddin dan Rahmat Purnama,” ungkap Junaidah SH MH.
Ditambahkan Gustina Ariyani SH MH yang juga Majelis Hakim Persidangan, dugaan kasus suap yang diduga dilakukan 60 kepsek ini ada karena memberikan anggaran 10 persen dari DAK, yang tujuannya agar dana alokasi khusus untuk pembangunan sekolah cair.
“Jadi karena adanya dugaan suap makanya dapat ditetapkan sebagai tersangka. Dari itulah kedepan saya harap tidak ada lagi kepala sekolah yang memberikan uang, menerima uang. Karena yang bersangkutan, bisa dijerat pidana Tipikor,” ujarnya.
Pantauan di ruang sidang, dari ke-26 saksi tersebut ada sejumlah kepala sekolah yang terlihat gemetar saat memberikan kesaksian di persidangan. Bahkan juga ada kepala sekolah yang tampak menangis karena matanya terihat merah dan berlinangan ketika dicecar pertanyaan oleh Majelis Hakim.
Sementara saat para saksi ditanya oleh Ketua Majelis Hakim Kamaluddin SH MH terkait jumlah anggaran DAK yang diterima oleh setiap kepala sekolah. Satu persatu kepala sekolah yang menjadi saksi menjawab nominal DAK yang bervariasi mulai dari, Rp 296 juta, 366 juta, Rp 386 juta, Rp 480 juta hingga Rp 495 juta.
“Kalau saya menerima DAK sekitar Rp 296 juta, kemudian 10 persen dari jumlah tersebut sekitar Rp 29 juta saya berikan kepada ‘TA’ yang merupakan koordinator yang mengumpulkan uang itu,” kata ‘RZ’ salah satu Kepala Sekolah menjawab pertanyaan hakim sambari memegang microphone dengan tangan yang gemetar.
Menurut ‘RZ’, awalnya ia bersama kepala sekolah lainnya tidak menyangka jika akan diminta uang 10 persen dari DAK yang diterima.
“Awalnya semua kepala sekolah dikumpulkan oleh Hasanuddin dan Rahmat Purnama di SMPN 13 Palembang. Dalam pertemuan itu, kedua terdakwa mesosialisasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) Anggaran Rehab Sekolah tahun 2012-2013. Saat pertemuan memang tidak disampaikan permintaan uang 10 persen itu. Namun setelah acara sosilisasi, Pak ‘TA’ yang merupakan koordinator menelpon dan meminta uang Rp 29 juta dari 10 persen DAK yang saya terima. Kalau uang DAK carinya tiga tahap, tapi untuk 10 persennya saya berikan kepada ‘TA’ saat tahap pertama pencairan dilakukan,” jelasnya.
Sedangkan saksi lainnya ‘MY’ yang juga kepala sekolah mengaku, terpaksa memberikan uang 10 persen dari DAK yang diterimanya. Hal itu dikarenakan dirinya takut jika ditahun berikutnya sekolahnya taklagi mendapatkan DAK untuk rehab sekolah.
“Kami mau memberikannya karna takut tahun depan tidak lagi diberikan DAK itu. Dari itulah 10 persennya kami serahkan kepada kordinatornya,” ujarnya dengan mata yang terlihat merah dan berlinang.
Usai mendengarkan keterangan para saksi, Ketua Majelis Hakim kembali mengajukan pertanyaan, apakah untuk pencairan DAK tersebut semua saksi mengajukan proposal terlebih dahulu kepada kedua terdakwa.
Menjawab pertanyaan hakim, semua saksi kompak menjawab jika usai pertemuan sosilisasi di SMPN 13 Palembang, mereka semuanya mengajukan proposal. “Ya Pak Hakim, kami semua mengajukan proposal dan kami serahkan kepada kedua terdakwa sebagai syarat agar anggaran DAK tersebut cair,” papar para saksi dipersidangan.
Setelah mendengarkan keterangan para saksi, Ketua Majelis Hakim menutup persidangan dan akan kembali melanjukan sidang pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi lainnya.
Diketahui dalam kasus dugaan ini terdakwa Hasanuddin dan Rahmat Purnama didakwa Jaksa Penutut Umum (JPU) Pasal 12 huruf (e) atau dakwaan kedua pasal 12 huruf (f) Jo Pasal 18 UU RI No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No 31 tahun 1999 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi, atau dakwaan subsider Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ayat (1) Jo Pasal 18 UU RI No 31 tahun 1999, sebagaimana diubah dan dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No 31 tahun 1999, tentang pemberatasan tindak pidana korupsi. (ded, Koransn .com*)
Komentar