Jakarta – Dana asing mengalir deras ke Indonesia dalam enam bulan terakhir dan akan terus meningkat pada masa akan datang jika program pengampunan pajak (tax amnesty) sukses dijalankan. Namun, tantangan utama Indonesia saat ini adalah upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian ekonomi dunia.
“Jika tidak ada dampak signifikan dari tax amnesty, pertumbuhan ekonomi sekitar 5,046 persen. Namun, jika tax amnesty bisa memberikan dampak yang besar, laju pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,4 persen,” ungkap Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo dalam diskusi dengan para pemimpin redaksi seusai buka puasa di Gedung BI, Jakarta, Kamis (30/6). Hadir pada acara buka bersama ini para pimpinan BI, antara lain Deputi Senior BI, Mirza Adityaswara.
BI memperkirakan repatriasi aset dari luar negeri akibat penerapan UU Pengampunan Pajak sekitar Rp 560 triliun tahun ini. Agar masuknya dana repatriasi bisa bertahan lama, perlu dilakukan pendalaman pasar dan perbaikan iklim investasi. Pendalaman pasar berkaitan dengan produk perbankan dan produk pasar modal yang saat ini masih minim.
Selama Januari hingga 24 Juni 2016, dana asing yang masuk ke Indonesia sebesar Rp 97 triliun, jauh lebih besar dibanding dana asing periode yang sama tahun 2015 sebesar Rp 50 triliun. “Masuknya dana asing disebabkan oleh membaiknya ekonomi makro sejak November 2015,” kata Agus.
Selain laju inflasi yang terkendali, kata Agus, current account deficit (CAD) atau defisit transaksi berjalan menurun. Pada kuartal pertama 2016, CAD sebesar US$ 4,7 miliar atau 2,14 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada kuartal keempat 2016, CAD diperkirakan sebesar US$ 5,1 miliar atau 2,37 persen dari PDB. Rupiah juga mencapai stabilitas dengan kecenderungan menguat.
Sepanjang 2016, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak dari 13.525 di awal tahun ke 13.165 per 28 Juni 2016. BI kini siap dengan berbagai instrumennya untuk memperkuat dan menstabilkan nilai rupiah.
“Rupiah dijaga pada level yang mampu mendorong ekspor, mengurangi impor, dan mendorong industri di dalam negeri,” papar gubernur BI.
Level rupiah sekarang ini sudah cukup kondusif untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua 2016, kata Agus, diperkirakan sekitar 4,94 persen, hanya sedikit lebih tinggi dari kuartal I 2016 sebesar 4,92 persen.
Agus yakin pada 2017, laju pertumbuhan ekonomi dunia sedikit lebih baik, yakni sebesar 3,3 persen, naik dari 3,1 persen tahun 2016. Kenaikan tersebut tidak terlalu besar karena ekonomi RRT dan India masih melambat.
Dalam jangka menengah dan panjang ekonomi Indonesia diperkirakan lebih baik. Namun, dalam jangka pendek, ekonomi Indonesia akan cukup banyak dipengaruhi oleh perkembangan global yang belum menentu.
Agus menjelaskan, yang menjadi masalah saat ini adalah pertumbuhan ekonomi. Penyebabnya, pertama, karena spending pemerintah yang lemah, dan kedua, kerena kondisi APBN yang masih defisit akibat tidak tercapainya target penerimaan pajak.
“Harapannya ada pada tax amnesty yang bisa mencapai Rp 560 triliun di luar dana asing sampai akhir Desember 2016, dengan menggunakan data Global Transparency,” kata Agus.
Menurut dia, spending pemerintah terbatas dan konsumsi masyarakat juga menurun akibat melambatnya pertumbuhan kredit, meningkatnya dana yang tidak dicairkan (undisbursed loan) oleh dunia usaha, sehingga gaji karyawan tidak naik dan tidak ada pendapatan tambahan untuk meningkatkan konsumsi.
Di sisi lain, ada perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan. Sementara kondisi global masih tidak menentu. Perolehan pendapatan dari ekspor juga tidak banyak, sedangkan investasi yang masuk tidak diimbangi oleh ekspor. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus mendorong pertumbuhan ekonomi.
“BI juga tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi mengutamakan stabilitas,” katanya.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan ekonomi 2016 bisa tumbuh 5,0-5,3 persen, tetapi tidak bisa lebih dari angka itu dan juga tidak akan sustainable karena tidak didorong oleh investasi.
Untuk mendorong peningkatan pendapatan negara dalam APBN, bisa dari tax amnesty dengan menggenjot perolehan pajak. Sedangkan dalam kondisi seperti ini, lanjutnya, asing akan memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi yang pada akhirnya membebani APBN.
“Kondisi ini tercermin dalam rating S&P akibat PDB kita yang tidak naik dan kondisi fiskal kita yang defisit membesar,” katanya.
Dalam APBN Perubahan 2016 yang disahkan DPR, Selasa (28/6), defisit anggaran ditetapkan sebesar Rp 296,7 triliun atau 2,35 persen terhadap PDB.
Agus menjelaskan, dalam jangka pendek, keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit yang dimenangkan pendukung “leave” memberikan ketidakpastian terhadap pasar finansial. Akibat Brexit, The Fed mengurungkan niat menaikkan suku bunga acuan Fed fund rate (FFR).
Merespons Brexit, demikian Agus, Bank of England (BoE) menyediakan likuiditas sebesar 250 miliar pound sterling. Sebanyak 30 bank sentral menyatakan kesiapan menjaga kelancaran dan kestabilan pasar finansial. Dukungan dari BoE memperat hubungan antarbank sentral.
Dampak Brexit terhadap pasar finansial pada masa akan datang bergantung pada posisi London sebagai salah satu pusat keuangan dunia. Jika London tak lagi menjadi pusat keuangan dunia, Brexit tak lagi berdampak.
Jaga Rupiah
Agus menjelaskan BI memiliki tugas pokok menjaga rupiah dan inflasi. Tetapi bukan berarti BI tidak mendorong pertumbuhan ekonomi. Buktinya BI sudah menurunkan BI Rate hingga sekarang ini menjadi 6,5 persen.
Menurut dia, imbauan agar BI mencetak uang seperti dilakukan The Fed dan Bank Sentral Eropa (ECB) tidak dilakukan karena rupiah bukan mata uang internasional yang dipakai di banyak negara. Indonesia juga tidak mungkin melakukan kebijakan quantitative easing.
Dia menegaskan tugas BI menjaga rupiah dan rupiah saat ini sudah mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia seperti ditunjukkan angka inflasi yang rendah, CAD yang mengecil, dan cadangan devisa yang meningkat.
Di sisi lain, BI tidak akan melakukan upaya berlebihan untuk membawa rupiah ke level yang tidak menguntungkan atau tidak sesuai dengan ekonomi Indonesia. Jika rupiah dibawa ke level 12.000 maka akan memukul ekspor, sedangkan kalau terlalu melemah juga tidak akan mendongkrak ekspor yang luar biasa. Pelemahan mata uang dilakukan oleh negara-negara yang eskpornya kuat seperti Tiongkok.
Tembus 5.000
Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) kembali tembus level 5.000 pada perdagangan Kamis (30/6). IHSG ditutup bertambah 36,542 poin (0,73 persen) ke 5.016,64. Sementara indeks LQ45 ditutup naik 5,036 poin (0,59 persen) ke 860.717. Sektor aneka industri dan industri dasar menopang penguatan IHSG.
Penguatan indeks ini didorong oleh dana asing yang mengalir deras ke pasar modal Indonesia. Data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (30/6) menyebutkan, dana asing masuk atau net foreign buy tercatat Rp 1,737 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dari biasanya. Rata-rata, dalam sehari dana asing masuk melalui pasar modal mencapai Rp 500 miliar.
Tingginya aliran dana asing masuk ini sudah terjadi sejak Rabu (29/6), yang tercatat sebesar Rp 1,712 triliun. Hingga 30 Juni 2016 atau year to date (ytd), net buy asing telah mencapai Rp 13,02 triliun di saham. Sedangkan kepemilikan surat berharga negara (SBN) oleh asing sudah mencapai Rp 626,17 triliun atau bertambah Rp 67,65 triliun dibandingkan akhir 2015.
Dihubungi terpisah, analis PT Asjaya Indosurya Securities, William Surya Wijaya mengatakan sentimen penopang IHSG pada perdagangan Kamis (30/6) adalah pengesahan UU Pengampunan Pajak oleh DPR pada Selasa (28/6).
“Ini memberikan optimisme terhadap ekonomi Indonesia, sehingga inflow cukup besar masuk hingga Rp 1,5 triliun per hari,” jelas William.
Selain itu, sentimen Brexit membuat dana asing banyak berpindah ke emerging market, terutama Indonesia yang menjadi tujuan investasi utama.
“Kinerja emiten kuartal kedua juga diprediksikan lebih baik dibanding kuartal I, terutama sektor consumer yang ditopang penjualan yang naik saat Ramadan dan Lebaran,” tambahnya.
Dia memperkirakan IHSG bisa menembus level 5.524 hingga akhir tahun. Dia juga memperkirakan IHSG akan sedikit tertekan di bawah 5.000 setelah Lebaran. Namun akan naik lagi karena polanya sudah uptrend, ditambah rilis kinerja keuangan emiten kuartal kedua.
William merekomendasikan sektor-sektor yang bisa dijadikan pilihan pelaku pasar adalah perbankan, consumer, properti, konstruksi, infrastruktur, dan perkebunan. Saham-sahamnya adalah BBRI, BMRI, BBCA, BBTN, ASII, KLBF, KAEF, UNVR, INDF dan ICBP, PWON, ASRI, WIKA, WTON, PTPP, TOTL, TLKM, PGAS, ISAT, EXCL, JSMR, TBIG, LSIP, AALI, dan SGRO.
Sementara itu, analis First Capital David Sutyanto juga mengatakan obat kuat IHSG sudah pasti adalah tax amnesty.
Sementara untuk Brexit, dia menyatakan hal itu belum pasti karena Inggris belum menyerahkan surat resmi terkait keluarnya negara tersebut dari Uni Eropa.
“Inggris kemungkinan akan menganulir Brexit, karena dampaknya cukup menekan, seperti turunnya nilai tukar pound sterling. Kemungkinan ini membuat pasar jadi kondusif,” jelasnya.
Dia menjelaskan, sejak disahkannya UU Pengampunan Pajak, dana asing yang masuk pada Rabu (29/6) dan Kamis (30/6) sudah hampir Rp 3 triliun.
“Untuk akhir tahun IHSG bisa di atas 5.100. Terkait tax amnesty ini, tergantung dari seberapa banyak dana yang akan masuk, dari pemerintah memang targetnya sekitar ribuan triliun. Terkait saham-saham yang bisa dikoleksi, pelaku pasar bisa memerhatikan sektor-sektor banking, consumer, dan ritel,” ujarnya.
Segera Terbitkan Aturan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan bisa menerbitkan peraturan untuk menghindari terjadinya spekulasi hot money di pasar keuangan, walaupun Indonesia menganut sistem devisa bebas.
Enny mengimbau, sebaiknya ada aturan yang bisa menahan dana hot money untuk bertahan lebih lama di pasar keuangan domestik, setidaknya minimal enam bulan.
“Sebelum enam bulan, tidak boleh keluar dahulu,” ujar Enny di Jakarta, Kamis (30/6).
Dengan demikian, dana-dana asing yang masuk tersebut akan sulit masuk ke instrumen investasi yang berkarakter spekulasi.
“Tidak apa-apa banyak hot money, asal tidak masuk ke instrumen untuk berspekulasi,” katanya.
OJK maupun Bursa Efek Indonesia (BEI) juga diharapkan bisa menerbitkan ketentuan yang mampu mengarahkan hot money masuk ke produk investasi jangka panjang. Enny berharap capital inflow bisa dihimpun melalui manajer investasi atau sekuritas.
“Pemilik hot money bisa bekerja sama dengan manajer investasi atau pengelola dana jangka panjang lainnya, sehingga uang itu bisa masuk ke instrumen investasi dan bisa bertahan lebih lama di pasar uang maupun pasar modal kita. Soal banyaknya hot money, BI harus bikin regulasi agar tidak ada spekulasi di pasar uang. Kalaupun terkait devisa bebas, tentu saja tidak bisa sebebas-bebasnya,” tegasnya.
Untuk menarik investasi, menurut Enny, investor memerlukan kepastian izin selain ketersediaan energi, infrastruktur, dan sebagainya. Meski baru-baru ini pemerintah menerapkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), dia menilai masalah tumpang-tindih perizinan pusat dan daerah masih terjadi hingga saat ini.
Kepastian hukum juga menjadi penghambat minat investor asing. Pasalnya, investasi ditujukan dalam jangka panjang, sehingga membutuhkan kepastian dan peraturan yang tidak berubah-ubah setiap tahunnya.
Enny juga menilai penyediaan infrastruktur manufaktur juga penting dalam menarik minat investor. Saat ini pemerintah gencar mendorong pembangunan kawasan industri di luar Jawa melalui berbagai insentif pajak (tax allowance), tetapi sayangnya belum dilengkapi percepatan pembangunan pembangkit listrik.
“Paket insentif pajak itu harus ada pemetaan terlebih dahulu, sektor mana yang mau digenjot dan dipercepat investasinya karena kebutuhan industri pembangkit dengan industri manufaktur (hilirisasi dan substitusi impor) misalnya, pasti berbeda,” katanya. (int/bs)
Komentar